Slow Food

Koh Han memandangi pelanggan kedainya dengan berseri-seri. Kedainya ramai. Bukan soal pemasukan uang yang membuat ia senang, tapi, sebagai seorang ahli masak, ia puas mengamati orang-orang menikmati kreasi masakannya. Berjalan berkeliling, ia sempat mencuri dengar pujian dari seorang pelanggannya.

"Tahu goreng a la Koh Han ini, bumbunya meresap, tidak berminyak. Rasanya ini tahu goreng terenak yang pernah aku makan"

Koh Han tertawa senang sambil mengelus-elus perutnya yang buncit, lalu mendatangi orang itu. 

"Sekalipun enak, tapi nikmatilah pelan-pelan, ini bukan fast food, tapi slow food!" ujar Koh Han, terkekeh senang.

"Bukan fast food?" orang itu menyanggah, "Aku kira menggoreng tahu itu termasuk dalam masakan cepat saji"

Koh Han tertawa kecil, "Bukan soal cepat atau lambatnya, saudaraku. Tapi aku mengembalikan makanan ke jati dirinya yang sejati."

Pelanggan itu mengernyitkan dahi, tidak mengerti. Koh Han pun memahami itu, ditepuk-tepuknya pundak pelanggannya itu dengan ramah. Sambil tertawa-tawa.

"Ah, Nikmati sajalah masakanku ini, pelan-pelan. Rasakan nikmatnya meresap di lidah"

Tahu dipiring pelanggan itu habis, dan ia memesan seporsi lagi. Koh Han menyampirkan serbet kebahunya, kemudian berlalu, menuju dapur. Menyiapkan pesanan itu, tidak lama, tahu goreng a la Koh Han itu siap dihidangkan.

Pelanggan itu menyantapnya  dengan sebat, secepat cara Koh Han menyajikan untuknya. Dalam benaknya tidak ada yang berubah. Tahu goreng a la Koh Han itu fast food.

Derita Beethoven

Hari yang sempurna bagi Ludwig van Beethoven. Ketika terbangun dari tidur, ia mendengar suara kicau burung. "Hey! Aku bisa mendengar lagi!!" Ia melonjak kegirangan. Satu hal yang langsung terlintas dipikirannya adalah piano. Ia rindu sekali pada dentingannya yang indah.

Beethoven berjalan berkeliling, mencari-cari piano. Aha! sebuah piano teronggok disebuah rumah reot. ia mendatangi rumah tersebut, mengucap salam, tapi tidak ada sahutan. Perlahan ia mendekati piano itu. Menyentuh tutsnya, wajahnya berseri-seri. Ia lalu duduk, memainkan Für Elise.


Permainannya memukau, ia sangat terharu mendengar permainannya sendiri. Kerinduannya pada bunyi dan harmoni terbayar sudah. Ia begitu menghayati permainannya itu, memainkan pianonya sambil memejamkan mata.

Saat bermain piano, ia mengenang ibunya yang meninggal karena TBC. Dentingan Pianonya syahdu. Ketika kenangan melompat kepada Ayahnya yang pemabuk, sentuhan tuts pianonya menjadi makin keras. Lalu ia mengenang cintanya yang selalu ditolak sepanjang hidupnya, ia memukul tuts piano dengan lebih keras lagi. Beethoven menyalurkan emosinya dengan sempurna melalui sentuhan tangannya pada piano.

Suara piano itu bergaung kesegala penjuru. Orang-orang mulai berdatangan, sepertinya mereka semua musisi, sebab mereka semua menenteng alat musik. Biola, gitar, terompet, hingga tamborin. Mereka mengamati beethoven dengan pandangan takjub.

"Indah sekali!" Pekik salah satu diantara mereka. Teriakannya itu mengagetkan Beethoven. Ia mengamati orang-orang disekelilingnya. "Ah, kalian membawa alat musik! mari kita bermain bersama!" teriaknya senang. Lalu Beethoven mengambil nada dasar C, menganggukan kepala sebagai aba-aba.

Musik mulai terdengar. Kacau dan berantakan. Beethoven menutup telinganya. "Hentikaaan!" teriaknya. Tapi orang-orang itu tidak peduli, tetap memainkan musik dengan kacau. Beethoven tidak kuat mendengar musik kacau itu, kemudian berlari keluar. Nafasnya tersenggal-senggal.

Ia lalu menyadari, ditempat itu, semua orang menenteng alat musik, entah itu biola, gitar, terompet, atau tamborin. Tapi mereka semua memainkannya dengan kacau. Kemanapun beethoven melangkah pergi, ia selalu bertemu orang yang memainkan musik dengan kacau. Dunianya dipenuhi suara sumbang!

Beethoven yakin, ia sedang berada di Neraka.




***



dimuat juga di
http://kisahfiktif.wordpress.com/

Tiga Versi Pembunuhan Kayla

Kayla ditemukan tewas dengan luka menganga dipergelangan tangan kiri, sayatan dipipi, dan lidah terpotong. Darahnya sudah kering waktu kabar itu tersiar, ketika orang-orang mulai berdatangan. Tapi orang-orang tidak sanggup merangsek kedalam, terhalang oleh garis polisi dan penjagaannya yang ketat.

Malam sebelumnya, beberapa orang mengaku melihat Kayla masuk kerumahnya bersama seorang pria bertubuh tinggi besar. Ketika ditanyai bagaimana ciri-ciri laki-laki itu, apa baju yang dipakai, kendaraannya apa, orang-orang itu menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda.

akhirnya jenazah itu diangkat masuk ke ambulans, kerumunan pun bubar.

***

Keesokan paginya, aku berangkat kerja dengan menggunakan kereta. Karena tidak punya kawan bicara, aku membeli sebuah koran murah yang tidak ternama. Kereta mulai berjalan, aku cepat-cepat menduduki bangku yang masih kosong.

Aku mulai membuka koran itu. Dirubrik kriminal, kudapati berita soal kemarin. Tercetak tebal “Kayla, Korban Cinta Segitiga”.

Aku mulai membacanya pelan.

“Kayla (25), Senin 23 mei malam, ditemukan tewas dirumahnya. Biduan cantik itu diduga menjadi korban pembunuhan. Mayat Kayla ditemukan oleh pembantunya sekitar jam 9 malam, yang langsung mengabarkannya ke aparat. Pihak keluarga Kayla menyatakan akan menuntut keras pelaku pembunuhan. Bersambung ke hal 11, Baca Biduan Cantik.”

Aku malas membacanya lagi. Judul dan isinya tidak sebanding. Tadinya aku berharap isi beritanya bakal penuh drama, selayaknya sebuah cerita dalam film. Melipat koran, aku mulai memandang sekeliling. Melirik seorang disebelahku yang tengah serius membaca koran yang berbeda dengan aku. Sempat kubaca tadi dikoran yang ia pegang, “Kayla Dibunuh Kekasihnya Sendiri”.

Stasiun demi stasiun terlewati, beberapa penumpang baru naik, kereta mulai penuh. Seorang pria yang tidak kebagian tempat duduk berdiri didepanku. mendekap tas, dan koran. Lagi-lagi, berita tentang Kayla. Terbaca dari korannya yang terlipat, “Kayla tewas ditangan kekasih gelap”. Aku menggelengkan kepalaku.

Tiga versi dari tiga koran berbeda ini membuatku khawatir, penyelidikan yang lambat akan membuat kasus ini mengendap. Bukan tidak mungkin kasus ini malah bakal dilupakan, seperti yang sudah-sudah.

Padahal pesan yang ingin kusampaikan waktu itu adalah: “Aku benci penyanyi yang cuma modal tampang”. Aku berharap pesan itu dapat ditangkap, dan tidak dilupakan…