Pancing Larso

Setelah sekian jam menunggu, joran ditangan Larso bergerak-gerak. “Aha! Ikan!” Teriaknya. Sekejap ia menarik joran itu kuat. Tapi ikan itu melawan.

Bila ia tarik joran kekiri, ikan itu bergerak kekanan. Begitupun sebaliknya. Tapi demi menu makan siang ini, Larso pantang menyerah. Ditariknya ikan itu kekanan kekiri. Berharap ikan itu lelah, lalu menyerah.

ikan itu tidak kunjung menyerah. Pasti besarlah ikan itu. Larso bisa merasakan gerakannya didalam air. Kuat dan bertenaga. Mungkin ikan gabus, mungkin juga mujaer. Tapi tidak mungkin ikan sepat. Tidak, sepat tidak sekuat itu. Sepat itu lincah, tapi tidak bertenaga.

Ia harap itu ikan gabus, sebab ia menyukai tekstur daging ikan gabus yang lembut. Terbayang seonggok ikan bakar yang berminyak. Larso tidak sabar lagi. Dengan satu hentakan keras, Larso mengangkat jorannya. Tapi hentakannya terlalu kuat, tali pancingnya putus.

“Sial!” Umpatnya, persediaan tali pancingnya telah habis. “Bila tali pancing tidak kuat, mau tidak mau, aku harus menangkapnya dengan tangan. Ikan besar, pasti gerakannya lamban, ” Pikir Larso. Sedetik kemudian ia meloncat kesungai.

Saat meloncat, Larso lupa pada dua hal. Pertama, sungai itu dalam. Kedua, Ia tidak mahir berenang. saat itu, ia ingat pada hal yang lebih penting, yaitu perutnya yang lapar. Juga pada ikan gabus, pada tekstur dagingnya yang empuk, pada aromanya ketika dibakar, pada cita rasanya yang membuai lidah…

***

[ A hungry stomach cannot hear. - Jean de La Fontaine ]

Dimuat juga diblog: kisahfiktif.wordpress.com

Virtuoso

Kamar itu tidak terlalu besar. Lima orang duduk berjejal pada sebuah kasur tanpa dipan. Didepan mereka, seorang pria tua duduk di kursi, memangku gitar kayu. Mengelap gitar itu dengan sekedarnya. Gitar kayu itu terlihat sama seperti yang memangku. Terlihat Tua. Terlihat dari warnanya yang mulai pudar, dan kulit kayunya banyak yang terkelupas.

Di kamar itu, tersaji sebuah resital. Terhitung setahun sudah, acara ini rutin digelar, seminggu sekali. Ditempat yang sama, dengan pemain gitar yang sama, dengan lima penonton yang itu-itu saja. Mereka yang lima itu mengaku sebagai penikmat jazz dan blues sejati. Sedangkan dia yang memainkan gitar, tidak pernah mengaku sebagai gitaris jazz ataupun blues. Tapi mereka yang berlima itu sepakat, permainan gitar pria tua ini disebut blues. Tentang hal ini, pria tua itu tidak terlalu peduli.

Tidak lama lagi, resital akan segera dimulai. Bila sudah begitu, lima penonton yang setia akan segera menghentikan semua perdebatan. Perhatian tertuju sepenuhnya pada pria tua. Tanpa sorot lampu, tanpa tata suara. Yang ada hanya bunyi petik gitar bergaung terpantul dinding kamar.

Pada senar-senar usang yang berkarat, ia tumpahkan semua. Merangkai nada-nada yang mengisyaratkan sedih. Tidak bernyanyi, karena ia tahu suaranya sumbang. Dengan petikan jemari pada senar-senar usang, ia bicara tentang banyak hal. Utamanya tentang rasa, yang tidak mampu terucap oleh kata.

Melodi yang ia bangun, adalah susunan nada yang dimainkan selayaknya sebuah kord. Nada rendah dan tinggi berjarak satu oktaf dibunyikan bersamaan. Dengan cara itu, bunyi gitarnya menjadi begitu ekspresif.

"Jempolmu tidak ada kukunya?" Tanya salah satu dari lima penonton itu kepada pria tua tersebut.

"Sengaja kucabut" jawab Pria tua

"Kenapa?"

"Dulu, mendiang istriku protes, katanya petikan gitarku terlalu keras, sekarang dengan jempol tanpa kuku ini, petikannya jadi terdengar lebih lembut kan?"

"Iya, petikan gitarmu memang lembut.. tapi, bukannya itu sakit, mencabut kuku dari jempol?"

"Sakit tentu, apalagi, ini kucabut dengan tang. Tapi aku suka hasilnya" Pria tua terkekeh sambil mengamati jempolnya yang tidak berkuku.

Kelima penonton setia berdecak kagum. Baru kali ini mereka melihat seseorang begitu mencintai bunyi gitar, hingga rela mencelekakan diri. Mencabut kuku jempol dengan sebuah tang. Tentu sakitnya luar biasa. Dilakukan demi mendapat suara petikan gitar yang lembut. 

Kelima orang itu tidak mengerti, dulunya pria tua itu adalah seorang virtuoso. Ditangan virtuoso, bahkan petikan gitar membunyikan tujuh nada dasarpun terdengar mempesona. Ia membunyikan gitarnya sepenuh hati. Jari-jarinya terlatih untuk mengerti apa yang disuarakan oleh hati. Ia telah mendalami misteri bunyi. Ia mengetahui rahasia bunyi.

Lima belas lagu usai dimainkan. Pria tua memasukkan gitar ke sarungnya. Pertunjukkan hari ini usai sudah.

"Terima kasih atas pertunjukkan yang luar biasa ini." ucap lima penonton itu.

"Ya, sama-sama. Sampai jumpa Minggu depan." kata pria tua itu.

***